PENATALAKSANAAN
DEMENSIA SECARA HOLISTIK PADA LANSIA
Suatu Perspektif Sosiologi dan
Antropologi
I
Wayan Nariata, R.A Tuty Kuswardhani
Divisi
Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Penuaan
merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. (constantinides, 1994). Berbagai perubahan terjadi
seiring pertambahan usia, mulai dari penurunan kuantitas berbagai substrat
dalam tubuh dengan akibat penurunan kuantitas dan kualitas jaringan. Perubahan
ini sering disebut sebagai suatu degenerasi. Menurunnya fungsi anatomis dan
fisiologis pada usia lanjut dianggap sebagai suatu proses alami dimana sering
diikuti perubahan biokimiawi pada susunan saraf pusat dan bersama beberapa
penyebab yang sering saling terkait akan menyebabkan adanya gangguan perilaku
dan demensia. Demensia merupakan suatu keruntuhan kemampuan intelektual yang
progresif setelah mencapai pertumbuhan dan perkembangan tertinggi. Definisi
lainnya mengatakan bahwa demensia merupakan suatu sindroma penurunan progresif
kemampuan intelegensia yang menyebabkan kemunduran kognisi meliputi daya ingat
dan pikir serta fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial,
pekerjaan dan aktivitas harian.
Kejadian
demensia bisa terjadi pada setiap usia, namun lebih sering pada usia lanjut yakni
diatas 60 tahun. Pada usia diatas 80 tahun 1 orang diantara 5 mengalami
demensia (kalyanasundaram, 2007). Di Indonesia jumlah lansia tahun 1980 masih 7
juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, tahun 2000 naik
menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010,
diperkirakan jumlah lansia mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi
28 juta orang lebih, sehingga jumlah penderita yang terancam demensia akan
terus bertambah.
Manifestasi
dari demensia dapat bermacam-macam akibat adanya penurunan secara global dari
fungsi kognitif, daya ingat, daya pikir, aphasia, apraxia, agnosia, dan
gangguan fungsi eksekutif. Bentuk penurunan prilaku tersebut secara garis besar
dibagi menjadi:
a. Penurunan
activity of daily living (ADL), yaitu
kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehri-hari
yaitu mandi, berpakaian, kebersihan diri, buang air besar/kecil dan lain-lain.
b. Perilaku
okupasional, yaitu perilaku yang dilakukan untuk menjalankan kehidupan
sehari-hari untuk bekerja, organisasi, beribadah serta kegiatan lainnya untuk
mengisi waktu luang dan lain-lain.
c. Partisipasi
sosial, yaitu perilaku untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat seperti
mengurus KTP, ikut kerja bakti, gotong royong, menghadiri undangan dan
lain-lain.
Seiring
berjalannya waktu, demensia dapat terus berkembang semakin berat sehingga
memperlihatkan gangguan psikologis maupun patologis. Gangguan ini dapat berupa:
1. Gangguan
psikologis yaitu:
a. Delusi:
isi pikiran yang salah tetapi diyakini kebenarannya
b. Halusinasi:
misalnya halusinasi dengar, visual, audotorik
c. Misidentifikasi/mispersepsi:
merasa bukan dirinya, bukan pasangan suami/istrinya
d. Apatis:
berkurangnya minat terhadap sesuatu yang biasanya disukai, interaksi sosial
berkurang
e. Cemas:
menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang, tidak bias duduk diam
2. Gangguan
prilaku yaitu:
a. Wandering:
mondar-mandir, mencari-cari, membuntuti, berjalan mengelilingi rumah
b. Restlessness:
gelisah sehingga tidak bisa diam.
c. Aggressiveness:
aktivitas fisik seperti memukul, menendang, mencakar, menggigit, berteriak,
membuat kegaduhan dan sebagainya.
d. Disinhibisi:
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan norma sosial, hal-hal
yang memalukan dan sebagainya.
Dengan melihat besarnya variasi
kemunduran psikologis maupun perilaku lansia yang mengalami demensia maka
penapisan demensia penting untuk dilakukan melalui beberapa cara yaitu mini mental state examination (MMSE), clock
draw test (CDT), 3 recall items. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria
diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder, Fourth Edition (DSM IV).
Kriteria
diagnosis demensia menurut DSM IV adalah:
A. Adanya
defisit kognitif multipel yang termanifestasi oleh dua hal berikut:
1.
Gangguan memori (gangguan kemampuan
untuk belajar informasi baru atau untuk mengingat informasi yang telah
dipelajari sebelumnya)
2.
Satu (atau lebih) gangguan kognitif
berikut:
a.
Afasia (gangguan berbahasa).
b.
Apraksia (gangguan dalam melakukan
aktifitas gerak walaupun fungsi motorik masih baik).
c.
Agnosia (gangguan dalam mengenal atau
mengidentifikasi objek walapun fungsi sensorik masih baik).
d.
Gangguan dalam melakukan fungsi-fungsi
tertentu (seperti merencanakan sesuatu, mengoraganisir, merangkai,
menyimpulkan).
B. Defisit
kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam fungsi sosial dan pekerjaan serta menunjukkan penurunan dari
tingkat fungsi sebelumnya.
C. Defisit
tersebut tidak muncul saat terjadinya delirium.
Pada saat terdiagnosis demensia dan secara rutin dalam interval
tertentu, penilaian harus dibuat
terhadap komorbid yang lain terhadap kondisi psikiatri lain yang
berhubungan dengan demensia seperti
depresi dan psikosis untuk memastikan manajemen yang optimal terhadap kelainan
yang ada.
PENYEBAB
DEMENSIA
Demensia memiliki penyebab yang berbeda-beda, beberapa kondisi sangat sulit dibedakan. Banyak kondisi medis dapat menyebabkan gejala demensia, terutama pada orang tua. Penyebab demensia meliputi berbagai penyakit dan infeksi, stroke, cedera kepala, obat-obatan, metabolik, kekurang gizi dan lain-lain. Semua demensia mencerminkan disfungsi pada korteks serebri atau jaringan otak. Beberapa proses kerusakan korteks secara langsung, sedangkan yang lain mengganggu daerah subkortikal yang biasanya mengatur fungsi korteks. Bila proses yang mendasari tidak permanen merusak jaringan kortikal, demensia kadang-kadang dapat dihentikan atau dicegah.
Demensia
dapat dikelompokkan menjadi demensia kortikal atau subkortikal atau demensia
reversibel dan ireversibel. Beberapa penyakit dibawah ini merupakan penyebab
demensia yaitu:
1. Penyakit Alzheimer: merupakan penyebab paling sering dari
demensia, bertanggungjawab pada sekitar
setengah dari semua kasus. Alzheimer sebagian merupakan penyakit yang
diturunkan. Pada penyakit ini, deposit protein abnormal di otak merusak sel-sel
di daerah otak yang berfungsi mengendalikan memori dan mental. Orang dengan
penyakit Alzheimer juga memiliki neurotransmitter lebih rendah dari orang
normal. Penyakit Alzheimer bersifat
ireversibel namun, obat-obatan tertentu bisa memperlambat progresivitas
penyakit.
2. Demensia Vaskular: merupakan penyebab kedua yang paling sering
dari demensia, bertanggungjawab pada 40%
kasus. Sering disebabkan oleh
aterosklerosis pembuluh darah otak dengan akibat gangguan aliran darah. Karena adanya
gangguan aliran darah sehingga demensia jenis ini kadang-kadang disebut
demensia multi-infark. Salah satu subtipe yang asalnya belum diketahui dengan
baik adalah penyakit Binswanger. Demensia vaskular berhubungan dengan beberapa
kondisi seperti dengan tekanan darah tinggi, dislipidemia, penyakit jantung,
diabetes. Dengan memperbaiki faktor risiko tersebut bisa memperlambat
perkembangan demensia vaskular, tetapi fungsi-fungsi tidak kembali setelah faktor-faktor
tersebut dikendalikan.
3. Penyakit Parkinson: penderita dengan penyakit ini biasanya
memiliki kekakuan anggota tubuh gangguan berbicara, dan tremor. Demensia dapat
berkembang di akhir perjalanan penyakit, namun tidak semua orang dengan
penyakit Parkinson mengalami demensia. Penalaran, memori, kemampuan berbicara, dan
kemampuan penilaian mungkin akan terpengaruh.
4. Demensia Lewy-body: disebabkan oleh endapan mikroskopis protein
abnormal, yang disebut badan Lewy yang merusak sel-sel saraf. Deposit tersebut
dapat menyebabkan gejala khas penyakit Parkinson, seperti tremor dan kekakuan
otot, serta demensia mirip dengan penyakit Alzheimer. demensia Lewy body
mempengaruhi kemampuan berfikir, perhatian, dan konsentrasi lebih banyak
daripada memori dan bahasa. Seperti
penyakit Alzheimer, demensia Lewy body bersifat ireversibel dan tidak bisa
disembuhkan. Obat yang dipakai untuk mengobati
penyakit Alzheimer juga memberikan perbaikan pada penyakit ini.
5. Penyakit Huntington: merupakan penyakit bawaan menyebabkan kerusakan
jenis tertentu dari sel-sel otak yang mengontrol pergerakan serta pemikiran. Demensia
adalah umum dan terjadi pada tahap akhir penyakit dicirikan dengan perubahan kepribadian yang khas. Penalaran, memori, kemampuan
berbicara, dan pertimbangan mungkin juga terpengaruh.
6. Penyakit Creutzfeldt-Jakob: Penyakit ini jarang terjadi
paling sering pada orang dewasa muda dan usia pertengahan. Adanya infeksi
menyerang dan merusak sel-sel otak, menyebabkan perubahan perilaku dan
kehilangan memori. Penyakit
tersebut dapat berkembang cepat dan fatal.
7. Penyakit Pick (demensia frontotemporal): adalah kelainan yang
jarang dan merusak sel di bagian frontal otak. Perubahan perilaku dan
kepribadian biasanya mendahului kehilangan memori dan gangguan bahasa.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pada beberapa orang tanda-tanda dan gejala demensia mudah dikenali, tetapi evaluasi yang cermat dan menyeluruh diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab yang sebenarnya. Wawancara medis yang rinci untuk menilai onset, gejala, masalah kesehatan saat ini, riwayat keluarga, obat-obatan, pekerjaan, perjalanan penyakit, kebiasaan, gaya hidup dan sebagainya. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan mencari bukti penyakit dan disfungsi yang mungkin menjelaskan penyebabnya.
Tes darah rutin
termasuk darah lengkap, kimia darah, tes
fungsi hati, fungsi ginjal, tes fungsi tiroid,
dan tingkat vitamin B (terutama asam folat dan Vitamin B-12)
dapat dikerjakan. Tes darah lainnya
(misalnya, sifilis dan tes HIV, obat-obatan, analisa
gas
darah arteri, tes hormon
tertentu, atau pengukuran logam berat) digunakan hanya ketika seseorang
beresiko tinggi untuk kondisi tersebut.
Urinalisis mungkin diperlukan
untuk menilai kelainan darah lebih lanjut, untuk mendeteksi obat-obatan
tertentu, atau untuk menyingkirkan
gangguan ginjal. Pemeriksaan cairan
serebrospinal mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi intraserebral, tumor otak, dan
hidrosefalus dengan tekanan tinggi.
Dalam
beberapa kasus, pencitraan otak mungkin diperlukan untuk mendeteksi kondisi
seperti hidrosefalus, tumor intraserebral, infark atau
perdarahan. Single-photon emisi
CT (SPECT) mendeteksi aliran darah di otak dan digunakan di beberapa pusat
medis untuk membedakan penyakit Alzheimer dari demensia vaskular.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan
rekaman
aktivitas listrik di berbagai bagian otak
mungkin membantu mendiagnosis gangguan lainnya. Evaluasi status mental dengan
beberapa instrument yang terstandarisasi merupakan keharusan dalam menegakkan
diagnosis demensia.
ASPEK SOSIOLOGI DAN ANTROPLOGI
PENUAAN
Masalah sosiologis dan biologis pada
penuaan walaupun saling terkait satu sama lain sesungguhnya sangat berbeda.
Aspek biologis menekankan pada fenomena anatomi dan fisiologis yang terjadi
melalui instrument yang terstandar sedangkan aspek sosial lebih menitikberatkan
hubungan antara penuaan dengan lingkungan sosiokultural yang tidak secara
langsung bisa diukur. Tidak seperti halnya sistem biologis, sistem sosial tidak
dibentuk oleh reaksi biologis dan genetik namun, melalui suatu pola kebiasaan
yang di dapat dan berkembang dalam interaksi sosial yang meliputi suatu sistem
dan nilai-nilai kultural yang membentuk suatu kelompok dan struktur tersebut
tidak akan pernah mengalami penuaan dan kematian. Sebuah sistem sosial adalah
suatu “cetak biru” dari suatu fungsi interpersonal yang terjadi pada masa
lampau, sekarang, dan mungkin bisa diprediksi pada masa akan datang.
Masalah penuaan secara sosial
meliputi beberapa hal diantaranya bertambahnya usia serta transisi dari
produktivitas kearah nonproduktivitas beserta kehilangan peranan dan status
yang melekat padanya. Peranan dibentuk oleh kapasitas seseorang untuk melakukan
fungsi yang diperlukan sedangkan status muncul sebagai evaluasi yang diberikan
suatu kelompok terhadap peran yang dilaksanakan. Dalam masyarakat kedua hal ini
saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga ketika peranan tidak lagi
dilaksanakan maka status secara otomatis cenderung akan menurun.
Sering terjadi diskriminasi pada
usia lanjut yang bervariasi mulai dari pembatasan kebiasaan, finansial,
penolakan sampai penyiksaan secara fisik. Keadaan sosial ekonomi masih
merupakan masalah pada lansia termasuk di Indonesia dimana sebagian besar
lansia masih bergantung pada keluarga dan orang lain sehingga lansia yang
terlantar terutama di pedesaan masih cukup besar. Beberapa bentuk stigmatisasi
atau diskriminasi misalnya dalam interaksi sosial dan interpersonal contohnya
(Stuckelgerger, 2007):
-
Infantilisasi, menganggap dan berbicara
dengan orang tua seperti anak kecil
-
Menilai seseorang dari segi nilai
ekonomi semata dengan anggapan usia lanjut tidak memiliki nilai ekonomi yang
memadai akibat menurunnya produktivitas
-
Ketakutan akan kematian dan penyakit
sehingga terjadi penolakan akan eksistensinya sendiri.
-
Menua identik dengan penyakit,
ketergantungan dan keterbatasan
-
Pada usia tua sudah terlambat untuk melakukan sesuatu
-
Orang tua tidak bisa belajar sesuatu
-
Orang tua tidak bisa menjalankan
kehidupannya sendiri, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat
-
Rahasia penuaan sepenuhnya ada dalam
genetika, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan budaya
memiliki peranan yang sangat besar.
Hal yang cukup
menjadikan proses menua akan memicu gangguan penyesuaian, perilaku bahkan
psikologis adalah fakta bahwa tidak jarang adanya penolakan atas peranan dan
status seseorang dimana orang yang telah mengalami penuaan masih merasa mampu
memberikan kontribusi secara normal, akan tetapi perubahan fisiologis dan
anatomis menyebabkan perubahan perubahan dalam peran sosial menjadi tak
terhindarkan. Hal ini lebih umum di negara barat, sedangkan di Indonesia
keadaan psikososial umumnya masih lebih
baik dimana penghargaan terhadap orang tua dalam kultur ketimuran masih
mendapat tempat. Kedudukan dan peranan lansia
dalam keluarga dan masyarakat timur yang umumnya masih dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai
menjadikan lansia secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan
diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari
tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika
lansia dianggap sebagai seseorang yang tidak diinginkan dalam masyarakat.
Pada masyarakat
tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga besar dengan adat istiadat yang kuat, memasuki usia
lanjut tidak perlu dirisaukan. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai
loyalitas untuk
menjaga orang tua yang tidak lagi produktif.
Pergeseran nilai yang terjadi memang tidak bias dipungkiri
dimana pada masyarakat modern, keberadaan orang tua dalam
keluarga anak dapat menganggu kehidupan ekonomi keluarga anak, kasih sayang
yang terbagi, dan mungkin masalah kepengurusan rumah tangga karena turut
campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak. Kecenderungan masyarakat modern
saat ini membentuk keluarga inti membawa masalah terhadap jaminan ekonomi dan
kesehatan lansia.
Penelitian Edi
Indrizal (2005) mengenai orang lansia di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam
tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga,
ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai
jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup
tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib bagi keluarga,
kerabat atau bahkan orang sekitar. Namun dalam
kondisi yang berubah dalam masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya
perubahan struktur keluarga luas ke keluarga inti, pola menetap neolokal,
membawa konsekuensi perubahan fungsi struktur keluarga dan hubungan sosial
dalam masyarakat Minangkabau. Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga
membawa implikasi terhadap kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak
memperoleh masalah tersendiri di dalam masyarakat dan tampaknya masalah sosial lebih dominan dibandingkan
masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
Ketidaksiapan dalam menerima
perubahan peran dan status merupakan masalah lain dalam diri setiap lansia dan
perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam
menyikapi perubahan peranan dan status ini masih harus memerlukan penelitian
berkesinambungan dan harus meliputi:
1. Memberikan
peranan sesuai dengan kemampuan dan mempertimbangkan disabilitas yang ada.
2. Adanya
suatu prosedur berkelompok untuk membantu para lansia dalam proses transisi.
Pemahaman yang realistik akan fungsi sosial terhadap peran yang baru harus
dibangun, dan para lansia harus memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi
dirinya dalam peranan ini melalui suatu kontak individu, praktek imajinasi atau
drama serta partsipasi nyata.
3. Hal
yang sulit adalah transevaluasi sistem yang ada dalam budaya masing-masing
sehingga peran dan status baru yang dimiliki para lansia biasa tetap dihargai.
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan gangguan prilaku dan demensia dapat dibagi dalam terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa.
Pada prinsipnya penatalaksanaan gangguan prilaku dan demensia dapat dibagi dalam terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa.
Terapi medikamentosa
Terapi obat-obatan diberikan untuk mengatasi faktor penyebab
dan mencegah atau memperlambat perkembangan demensia. Pada kasus demensia
lanjut, terapi obat-obatan tidak untuk mengobati penyebab melainkan ditujukan
untuk meminimalkan gejala psikologis dan gangguan prilaku yang terjadi.
Beberapa obat-obatan dapat digolongkan menjadi:
a.
Neurotropika:
pyritinol, piracetam, sabeluzole
b.
Ca-antagonis:
nimodipine, citicholine, cinnarizine, pentoxiphiline, pantoyl GABA
c.
Acethylcholinesterase
inhibitor: tacrine, donopezil, galantamine, rivastigmin, memantine
Obat-obat
lain dapat diberikan sesuai dengan gejala akibat gangguan psikologis dan
perilaku seperti:
a.
Antipsikotik
tipikal: haloperidol
b.
Antipsikotik
atipikal: clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine
c.
Anxiolitik:
clobazam, lorazepam, buspirone, trazodone dan sebagainya.
d.
Antidepresan:
amitriptilin, tofranil, asendin, SSRI.
e.
Mood
stabilizer: carbamazepine, divalproex, neurontin dan sebagainya
Terapi nonmedikamentosa
Intervensi nonfarmakologis harus dilakukan secara holistic
meliputi lingkungan, psikologis, kemampuan bahasa dan lain-lain. Intervensi
psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi kecemasan, memberikan rasa
aman dan ketenangan baik dalam bentuk psikoterapi individual, kelompok maupun
keluarga. Lingkungan tempat tinggal juga perlu mendapat perhatian agar
memberikan cukup kenyamanan serta keamanan bagi penderita. Warna, bentuk, bahan, fasilitas seyogyanya
disesuaikan untuk mendukung program yang akan dilaksankan. Pendekatan lain
meliputi adat, budaya, keagamaan, pengembangan kesukaan/ hobi juga biasa
dilakukan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada penderita sekaligus
memberikan keselarasan dengan sisitem sosial yang ada. Untuk caregiver diperlukan dukungan mental,
pengembangan kemampuan adaptasi, peningkatan kemandirian dan kemampuan menerima kenyataan.
Meskipun seorang individu dengan
demensia harus selalu berada di bawah perawatan medis, anggota keluarga idealnya menangani
sebagian besar perawatan sehari-hari. Perawatan medis harus fokus pada
mengoptimalkan kesehatan individu dan kualitas hidup sementara anggota keluarga
membantu mengatasi dengan banyak tantangan untuk merawat anggota keluarga dengan
demensia. Perawatan medis tergantung pada kondisi yang mendasari, tapi paling
sering terdiri dari obat-obatan dan perawatan nonmedikamentosa seperti terapi perilaku. Penghilangan stigma dan diskriminasi secara sosial terutama
pada daerah-daerah yang lebih cenderung materialistik menjadi penting untuk
memberikan kenyamanan secara psikologis bagi lansia. International Labour
Organization serta WHO menganjurkan pemerintah untuk memasukkan beberapa
prinsip dalam program nasional, diantaranya:
A. Kebebasan
1.
Para
lansia harus mendapatkan akses yang baik terhadap makanan, air, perlindungan,
pakaian, serta kesehatan melalui ketersediaan pendapatan, dukungan keluarga dan
masyarakat serta kemandirian.
2.
Para
lansia harus memiliki kesempatan untuk bekerja atau memiliki akses pada kesempatan
yang memungkinkan mereka mendapatkan sumber pendapatan
3.
Lansia
harus dapat berpartisipasi dalam memutuskan kapan dan bagaimana akan
meninggalkan pekerjaannya
4.
Para
lansia harus mendapatkan akses untuk pendidikan dan program-program pelatihan
5.
Para
lansia harus mendapatkan kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan
bisa menyesuaikan dengan perubahan kapasitasnya
6.
Lansia
harus bisa tetap tinggal dirumah selama mungkin
B. Partisipasi
1.
Para
lansia harus tetap tergabung dalam masyarakat, berpartisipasi secara aktif
dalam formulasi dan implementasi kebijaksanaan yang secara langsung
mempengaruhi kesejahteraannya dan membagikan pengetahuan dan ketrampilan mereka
dengan generasi berikutnya.
2.
Lansia
harus mampu mencari dan mencari kesempatan untuk melayani masyarakat sebagai
sukarelawan sesuai dengan kemampuannya.
3.
Para
lansia harus selalu dalam kerjasama dengan lansia lainnya.
C. Perhatian
1.
Para
lansia harus mendapatlkan keuntungan dari keluarga dan masyarakat serta
pelindungan selaras dengan setiap sistem sosial dari nilai-nilai budaya.
2.
Para
lansia harus memiliki akses pada pelayanan kesehatan untuk membantu mereka
menjaga atau mengembalikan tingkat kesejahteraan fisik, mental, dan emosional
serta untuk mencegah keterlambatan penyakit.
3.
Lansia
harus memiliki akses pada pelayanan sosial dan hukum untuk meningkatkan
otonomi, perlindungan dan perhatian.
4.
Lansia
harus mampu menggunakan ketersediaan institusi perlindungannya dengan baik
untuk memberikan perlindungan, rehabilitasi, stimulasi sosial dan mental dalam
lingkungan yang aman.
5.
Lansia
harus mampu menikmati hak asasi manusia dan kebebasan ketika tinggal di tempat
manapun, fasilitas pengobatan, termasuk penghormatan akan martabatnya,
keyakinan, kebutuhan, dan privasi serta hak untuk membuat keputusan untuk
kehidupan dan kualitas hidupnya.
D. Pemenuhan
diri
1.
Lansia
harus mampu mencari kesempatan untuk pembangunan sepenuhnya potensi diri mereka.
2.
Lansia
harus memiliki akses akan sumber pendidikan, budaya, spiritual, dan
rekreasional di masyarakat.
E. Martabat
1.
Lansia
harus mampu hidup dalam lingkungan yang aman dan bermartabat dan bebas dari
eksploitasi fisik maupun mental.
2.
Lansia
harus diperlakukan dengan baik tanpa melihat umur, jenis kelamin, ras atau
latar belakang etnik, disabilitas atau status yang lain dan di hargai secara
bebas akan kontribusi ekonomis mereka.
Para lansia yang mengalami demensia
selayaknya mendapat penghargaan yang baik tanpa memandang usia serta sejauh
mana gangguan yang ada dan bahwasanya setiap orang adalah unik, memiliki
kepribadian tersendiri sehingga pendekatan masing-masing haruslah disesuaikan. Beberapa
kunci pokok dalam penanganan secara holistik yang dapat dilaksanakan antara
lain (NICE, 2004):
a.
Tanpa diskriminasi
Para penderita demensia tidak boleh dikecualikan
dari semua pelayanan semata-mata karena diagnosis, usia atau gangguan yang ada.
b.
Penjelasan yang tepat
Para
penyedia layanan kesehatan harus selalu memberikan penjelasan dengn baik kepada
para penderita. Mereka harus mendapatkan informasi dengan baik, dipastikan
bahwa mereka dapat mengerti dan apabila terdapat gangguan dalam pemahaman maka
bias menggunakan alat bantu Mental Capacity Act 2005.
c.
Carers/ penjaga yang membantu dalam kegiatan sehari hari
Para
penyedia layanan kesehatan harus dipastikan mendapatkan hak untuk mendapatkan
penilaian atas apa yang dibutuhkan dan apabila mengalami stress psikologis, mereka
harus mendapatkan terapi psikologi termasuk cognitive behavioural therapy
dari ahlinya.
d.
Koordinasi dan integrasi layanan kesehatan dan sosial
Penyedia
layanan keehatan dan sosial harus berkoordinasi dalam bekerja melalui suatu
prosedur tertulis. Rencana dan strategi harus memasukkan sistem lokal serta pendekatan
budaya lokal yang bersifat spesifik mengingat kultur, penilaian, penghargaan
serta peranan setiap lansia dalam masyarakat tidaklah sama dalam setiap system
budaya.
e.
Penilaian
memori
Penilaian
memori harus dilakukan dan merupakan titik dimana rujukan dan penanganan yang
komperhensif harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita demensia.
f.
Alat bantu diagnosis
selain alat bantu terstandar untuk
menilai status kognitif, alat bantu untuk menilai gangguan struktur lain
terutama pada otak juga harus ada.
g.
Gangguan perilaku
Faktor pencetus
terjadinya gangguan prilaku harus diidentifikasi dan penanganan harus disesuaikan.
Terapi kognitif dan perilaku bisa diberikan dengan pendekatan individu
bersamaan dengan terapi medikamentosa.
h.
Pelatihan
Para penyedia
layanan harus dipastikan mendapat pelatihan yang sesuai sesuai dengan peranan
dan tangung jawab masing-masing.
i.
Kebutuhan
kesehatan mental pada kondisi “acute hospitals”
Dalam keadaan tertentu
dimana diperlukan penanganan perawatan rumah sakit, fasilitas untuk itu harus
tersedia sesuai dengan kebutuhan medis, sosial dan mental penderita.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan demensia pada usia lanjut harus
meliputi beberapa komponen baik medikamentosa dan nonmedikamentosa dan
dilakukan secara holistik, saling terkait, sistematis dan melibatkan banyak
pihak. Pendekatan budaya lokal harus dilakukan dan penderita harus diperlakukan
secara individual sesuai dengan kapasitas, kondisi, penyakit komorbid, kebiasaan serta
gangguan yang ada untuk memaksimalkan pelayanan yang diberikan. Konsep biopsikososiospiritual harus diterapkan secara integratif karena keseluruhan aspek merupakan faktor yang sangat terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo BR, Martono HH (2006). Buku Ajar Geriatri. Edisi 3.
Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
Kuswardhani R.A, Astika N, Suka
Aryana IGP, Yanson YP (2008). Buku Panduan Geriatri Medik, Pedoman Diagnostik
dn Terapi. Divisi Geriati Bag. Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
Stuckelberger A (2006). Importance
and Value of Older Person In The Family and For Future Generations; in Aging
With Health And Dignity. Eds: Prakash I
J. Bangalore University, Bangalore.
Global Age-Friendly Cities Cities: A
Guide (2007). World Health Organization.
Carlson CM, Gleason CE et al (2009). Dementia Including Alzheimer’s Disease; in
Hazzard’s Geriatric medicine and Gerontorology; sixth edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. Pp:797-811.
Durakovic Z. Antrophology of Ageing.
Rebro
University Hospital, Medical Faculty University of Zagreb, Croatia.
Rubinstein RL (1990). Antrophology and Ageing. Kluwer
Academic Publishers, Boston.
Merla
AS, Larrain PM, Prado BZ. Quality of life in Geriatrics. Available at: www.academiavita.org;
accessed Nov 27th, 2010.
Dementia: Supporting People With
Dementia and Their Carers in Health and Sosial Care. NICE Clinical Guideliness
42 (2006). Available at: www.nice.or.uk; Issue Date; November. Accesed: November
27th, 2010.
Curran S, Wattis JP (2004).
Practical Management of Dementia: a Multi-professional Aprroach. Radcliffe
Medical Press, Oxford.
Laurin D, Verreault R, Lindsay J (2001). Physical Activity and Risk of Cognitive Impairment and
Dementia in Elderly Persons. Arch. neurol/vol 58, March, 2001,
Available at: www.archneurol.com.
Accesed nov 26 th, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar